Masa’ Semuanya Jadi Repot?


Oleh: Bakhru Thohir*

kendiwahind.com - Gitu aja kok repot adalah salah satu kutipan Gus Dur paling masyhur, sepertinya hampir setiap orang di Indonesia tahu kutipan itu. Namun, semenjak Gus Dur pulang Bulan Desember Tahun 2009 lalu, ada beberapa orang dalam skena GUSDURian yang memplesetkan kutipan itu menjadi “Sekarang semuanya jadi repot.

Dalam refleksi saya untuk haul Gus Dur ke 15 tahun 2024 ini, saya sepertinya semakin tidak setuju pada quote Gus Dur yang diplesetkan itu, karena Gus Dur tidak sedang KKN dan Gus Dur tidak ingin orang-orang di sekitarnya, termasuk yang beliau bela selama hidup, jadi dependen. 

Nada dependensi itu muncul ketika saya menyadari bahwa kata semuanya jadi repot seolah kita harus selalu ditemani Gus Dur. padahal pendekatan yang Gus Dur lakukan adalah memberdayakan. 

Kata memberdayakan berarti membuat setiap manusia menjadi bisa melakukan apa yang ingin ia lakukan. Membuat manusia sadar bahwa setiap dari kita sama di depan agama dan begitu juga di depan hukum. Membuat setiap dari kita sama-sama memiliki kemampuan dan kehendak bebas untuk memilih. Dan mengembalikan martabat sebagai manusia, seperti yang disampaikan Tuhan.

Hal ini pun terlihat dari bagaimana Gus Dur menumbuhkan banyak sekali pemimpin-pemimpin masyarakat baru. Ia tidak hanya menjadi mercusuar yang jadi rujukan orang ketika kehilangan arah sendirian, tetapi Ia juga menjadi teladan orang-orang baik serupa beliau dan akhirnya menjadi mercusuar juga di tempatnya masing-masing. Sebutlah namanya yang saat ini sudah melalang buana di jagat Indonesia seperti Kiai Husein Muhammad, Mas Hairus Salim HS, Pak Mahfud MD, dan masih lebih banyak lagi yang saya tidak tahu.

Hal ini sangat berbeda dari pendekatannya anak KKN, karena pada umumnya anak KKN tidak sedang benar-benar melakukan program pemberdayaan. Karena mereka datang tiba-tiba bawa solusi, program, dan dipungkasi memberi buku panduan. Padahal mendefinisikan masalah yang dihadapi masyarakat saja belum clear. Kadang-kadang lebih sering menciptakan pseudo-masalahan untuk kepentingan menulis proposal sebuah program. 

Ada beberapa syarat agar seseorang bisa memberdayakan, dan yang paling utama adalah selalu diawali dengan mendengar. Sehingga orang yang ingin melakukan pemberdayaan perlu memiliki kemampuan mendengar. 

Mendengar tentu saja bukan sekedar masuknya gelombang suara ke telinga, karena ada beda antara dengar dan mendengar. 
Kalau sekedar ada gelombang suara yang masuk ke telinga itu dengar, tapi kalau ada sesuatu yang dimasukkan ke sanubari dan dimulai dengan kesadaran, itu baru mendengar. 

Mendengar pun ada levelnya, ada hal-hal yang perlu kita buka juga. 

Tiga hal yang perlu dibuka agar kita bisa mendengar lebih dalam adalah membuka pikiran (open mind), membuka hati (open heart), dan membuka tekad (open will). Selain membuka 3 gerbang dalam diri, kita juga perlu menyingkap 3 “penyakit” yang bisa mengganggu proses mendengar yakni suara penghakiman, suara sinis, dan suara ketakutan. 

Ketika seseorang mendengar lebih dalam, ia akan tahu lebih baik dari bagaimana dunia ini bekerja. Dan ketika kita tau lebih dalam, kita sebenarnya sedang mengasah ketajaman nurani, dan mengetahui siapa sebenar-benarnya yang lemah dan perlu dibela. Sehingga solusi gak datang ujuk-ujuk dan tidak memiliki konteks.

Mungkin itu alasan Gusti Allah membuat dua telinga namun hanya menciptakan satu mulut.

Bahkan kerja seperti superman dan ultraman yang masalahnya konkret pun dirasa gak baik. Karena kedua hero ini belum mampu membuat masyarakat berdaya. Masyarakat masih harus kelimpungan dan selalu tergantung pada hero ketika monster menyerang. 

Nah, ketika kita tidak bekerja ala superhero, lebih-lebih tidak seperti anak KKN, kita bisa mengamalkan adagium arab “tasharruful imam ala ra'iyyah manuthun bil maslahah”, tindakan pemimpin terhadap rakyatnya harus didasarkan pada maslahat. 

Karena siapa yang dibela akan jelas, kenapa ia dibela juga beralasan, dan atas tujuan apa ia dibela. 

Sehingga ketika pemimpin menajamkan nurani dan tidak hanya mengikuti dorongan kepentingan, memang tujuan masalahnya adalah pada semua ra'iyyah, lebih-lebih yang lemah dan dilemahkan. 

Sesi tanya jawab:

1. Apakah Mas Wapres sudah membuka telinga dan berusaha menajamkan nurani ketika saat ini beliau membuat program lapor mas wapres?
Ada sebuah kegiatan yang kalau kita lihat bentuknya sama, namun akan selalu ada yang berbeda dari bagaimana niatnya ditata. Seperti, keputusan seorang perempuan menjadi ibu rumah tangga. misal kita punya tetangga yang ada dua rumah memutuskan ibu di sana berkarir sebagai ibu rumah tangga. kelihatannya mungkin sama, tapi siapa yang tahu pada niatnya. 
Semisal, rumah pertama, sang suami memutuskan sepihak karena berkeyakinan “bekerja adalah tugasku, dan kodrat seorang perempuan adalah merawat anak dan masak, perempuan itu jujukane balik nak dapur”. 
Sementara di rumah kedua, ibu di situ tidak kehilangan statusnya jadi seorang subjek manusia. Ia mau menjadi subjek, suaminya tidak mendiskriminasi, dan diskusi adalah cara rumah itu mendapatkan solusi. Sang Ibu bisa berpendapat dan ia bisa memilih. Dan hasil pilihannya adalah ia ingin menjadi ibu rumah tangga dengan alasan ingin membersamai tumbuh kembang anak. 
Dua situasi ini sama-sama memunculkan output ibu rumah tangga, tapi spirit yang dibawa berbeda. 
Sehingga kalau suatu program kelihatannya mendengar, siapa yang tahu maksud dalam hati government yang menginisiasi program itu?
2. Selepas pandemi kita berubah dalam banyak hal, saat ini dunia pendidikan kenapa seperti tidak melahirkan manusia yang penuh empati dan rasa kemanusiaan?
Jawaban penulis mungkin klise dan sudah bisa didengar, tapi ya itu lah yang seharusnya dilakukan. 
Kalau mau lulusan yang penuh empati dan memiliki rasa kemanusiaan, jawabannya cuma “mulai dari diri sendiri.” 
Kalau kita mau murid kita jadi empatik, jadilah guru yang empatik. Kalau ingin murid kita memiliki rasa kemanusiaan, jadilah guru yang memiliki rasa kemanusiaan. 
Tapi sayangnya ini tidak titik, ini masih koma. 
Karena memang sayangnya pertanyaan apakah sebuah satuan pendidikan sudah melahirkan manusia yang empatik dan memiliki rasa kemanusiaan itu tidak ada di borang akreditasi. Di satuan pendidikan selevel pendidikan tinggi, yang ditanyakan adalah lulusannya sudah bekerja di mana. Bukan sudah menjadi manusia atau belum. 
Karena pendidikan kita juga yang penting adalah semua rancangan pengajaran di RPS diselesaikan, bukan melihat kondisi situasi dengan kacamata kemanusiaan pada peserta didik yang diajar. 
Tepatnya proses seperti itu memang tidak disebut pendidikan, tapi cukup pengajaran. Karena kualitas manusia yang dihasilkan sama seperti meng-install aplikasi di sebuah robot berotak. [*]

*Penulis adalah Penggerak GUSDURian Bojonegoro dan Kaprodi Kimia Universitas Bojonegoro.

Tulisan pernah tayang di: https://www.bakhru13.com/2025/01/masa-semuanya-jadi-repot.html


Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama